Sudah puluhan kali, aku bolak-balik ke ruangan Senat. Tapi, gak ada satupun makhluk yang nongkrong disana. Biasanya kalo gak Yhuzhof, Ilyaz, Aris, Sapti, atau Rini, selalu terlihat batang hidung dan kedua matanya. Tapi, kali ini mereka yang sering dijuluki 5 sekawan oleh anak-anak kampus, memang seperti benar-benar di telan bumi. Ahh…sedahsyat itukah bumi menelan mereka?. Mau kasih undangan Seminar dari kampus kakak aku, yang kebetulan adalah bekas teman SMA mereka berlima.
Mau kemana lagi yach mencari mereka berlima? Susah banget. Seperti mencari jarum dalam jemari eh jerami. Di Perpustakaan, tempat favorit mereka, juga udah ditelusuri, tidak ditemukan jejak langkah mereka berlima. Di ruangan HMJ FIKOM ( Himpunan Mahasiswa Jurusan Fakultas Ilmu Komunikasi ) juga gak ada. Di ruangan Siaran Radio Kampus juga apalagi. Huft…daripada pusing begini, mendingan aku ke warnet aja. Browsing apa keq, yang berbau pengetahuan. Lumayan buat nambah-nambah wawasan.
Tanpa menunda waktu lagi, aku langsung menuju warnet depan kampus. Warnet BEBAS ONLINE, namanya. Milik salah satu mahasiswa kampus yg udah 2 tahun lulus. Hebat juga yach, hari gini udah bisa membangun usaha sendiri. Walaupun modal awal mungkin dari papi dan mami, tetap aja patut diacungi jempol dan angkat topi. Karena udah punya jiwa Enterpreuner, mau mandiri dan bisa menciptakan lapangan pekerjaan buat diri sendiri dan orang lain. Hahhaha….koq jadi ngomongin orang sih. Khan mau cari Pandawa 5, eh 5 sekawan.
“ Maaf yach Mba Indah…, roomnya penuh semua. Udah full. “ Penjaga warnet, Mas Anto memberitahu aku.
“ Emang tidak disisakan untuk aku yach Mas…? 1 kursi aza.”
Aku cukup kecewa banget. Padahal udah semangat mau internetan. Kan bisa chatting tuch sekalian. Biar aja lah mereka berlima gak berhasil aku temukan, daripada kepala pusing nyari yang gak ada.
“ Yee…si Mba ini, kalo dikasih tau gak ngerti dech, Full Mba….” Mas Anto sekali lagi bikin pengumuman.
“ Ya udah sih…sepele, gitu aja.” Aku meninggalkan warnet BEBAS ONLINE dengan tertawa-tawa, melihat Mas Anto bĂȘte mendengar ucapan aku tadi.
Padahal, aku becanda. Ketika menengok ke belakang ku lihat Mas Anto masih terlihat manyun, kemungkinan besar sih bibirnya maju 10 senti ( hehehhee….. ).
Tiba-tiba ponselku bergetar. Ada sms masuk kayaknya. Ku lihat segera, ternyata dari Aris. “ Indah… buruan ke sini ya, Yhuzhof kecelakaan. Ada di Rumah Sakit CEPAT SEMBUH , naik taxi aja. Tar kita ganti ongkos taxinya. Gak usah balas sms ini, ribet. Pokoknya, buruan yach…!”
Ya Tuhan…apa yang terjadi sih?. Aku segera memasukkan ponselku ke dalam tasku. Menghentikan taxi yang kebetulan udah lewat di depanku. Setelah memberitahu tujuanku kepada supir taxi. Aku segera masuk ke dalam taxi bertarif normal dan duduk di bangku belakang. Agak aman dan nyaman rasanya di dalam taxi. Tapi pikiran sangat gak tenang banget, ku gak berhenti bertanya-tanya, kejadian yang menimpa Yhuzhof saat ini. Gimana keadaan teman aku yach..? mudah-mudahan selamat. Tidak kurang suatu apapun. Semoga…Ya Tuhan.
Saat pikiranku melayang ke Yhuzhof, tiba-tiba supir taxi menghentikan mobil secara mendadak. Aku kaget bukan kepalang. Di depan taxi, udah berdiri seorang laki-laki berambut gondrong yang hampir menabrak taxi yang ku tumpangi. Supir taxi membuka jendela mobil, dan mengeluarkan kepalanya sambil berteriak marah, mengeluarkan kata-kata “ Goblok banget sih loe, mata loe dimana? Nyebrang sambil lari. Bosan hidup yach loe??” wihhh…sadis banget ucapannya. Untung bukan aku yang di posisi laki-laki itu. Untung Supir taxi, yang bernama Fery ( karena lihat kartu identitasnya yang tergantung di kaca mobil sih… ) itu tidak keluar dari mobilnya. Bisa-bisa tambah dicaci maki dech laki-laki itu. Cukup manusiawi lah, karena kecerobohan laki-laki itu bisa membawa supir taxi ini berurusan dengan banyak hal.
Aku cuma melihat laki-laki itu menganggukkan kepalanya dan mengangkat kedua tangannya sebagai tanda permintaan maaf pada supir taxi. Sikap yang baik ! Dan laki-laki itu berlalu dari pandangan kita berdua.
Aku meneruskan perjalanan kembali bersama supir taxi menuju Rumah Sakit tempat Yhuzhof di rawat. Ahh…betapa panjangnya perjalanan ini. Andai bisa merentangkan sayap dari tubuh ini, hingga aku bisa segera tiba melihat keadaan temanku secepatnya. Sayangnya, aku berada di negeri realita bukan di negeri dongeng.
20 menit berlalu, akhirnya ku tiba dengan selamat di Rumah Sakit CEPAT SEMBUH. Aku segera menuju ruang UGD, mencari keberadaan teman-temanku. Mereka berlima semua Kakak Tingkatku di kampus. Tanpa bertanya lagi, aku menyeruak masuk ke ruangan UGD. Berharap langsung bertemu Yhuzhof dan kawan-kawan disana.
Pintu ruangan UGD terkuak. Mataku mulai mencari, satu demi satu wajah yang sedang terbaring di sana. Dalam keadaan yang macam-macam pula. Tibalah mataku terhenti pada seorang laki-laki yang sedang terbaring tak berdaya di tempat tidur UGD. Wajahnya babak belur, bengkak-bengkak dan begitupun dengan seluruh badannya. Sungguh memprihatinkan sekali.
Ya Tuhan…aku terlonjak kaget. Bukankah laki-laki itu yang hampir menabrak taxi yang ku tumpangi tadi? Kenapa dia bisa ada di sini?. Untuk menghilangkan rasa penasaran di hati, maka ku hampiri laki-laki yang sedang di obati oleh Perawat wanita itu. Laki-laki itu juga terperanjat melihat wajahku. Melihat kehadiranku di ruangan itu. Seperti melihat setan di sore hari.
“ Selamat sore…Suster…, “ aku melirik kartu tanda pengenal yang tergantung di kemeja putihnya. Owhh….Suster Tri, namanya. Hmmm…cantik juga. Pikirku dalam hati.
“ Maaf…Suster Tri, saya mau bertanya…apa ada teman saya yang bernama Yhuzhof di ruangan ini? Kecelakaan Suster. Entah kecelakaan apa.”
Mataku tak henti-hentinya menatap laki-laki itu. Laki-laki itu cuma tertunduk malu. Tak berani menatap wajahku. Sebenarnya laki-laki ini tampan, cuma sayang penampilannya kurang rapi. rambutnya gondrong, di kanan dan kiri wajahnya ditumbuhi cambang, terlihat dekil, bajunya pun kusut, seperti tidak disetrika.
“ Oh…sudah dibawa ke lantai 3 tadi, Mba, silakan tanya di lantai 3 aja, untuk mengetahui di kamar nomor berapa.” Suster Tri menjelaskan.
Aku segera mengucapkan terima kasih dan pamit pada Suster Tri. Aku sudah tak menghiraukan laki-laki malang itu lagi. Aku segera naik ke lantai 3, dan mencari informasi. Setelah mendapatkan info, aku segera masuk kedalam kamar No. 318.
Pintu kamar no. 318 terbuka setelah ku ketuk dan memberi salam.
Aris, Ilyaz, Sapti dan Rini berdiri mengelilingi Yhuzhof yang terbaring lemah di tempat tidur. Kaki dan paha sebelah kiri Yhuzhof memar, biru-biru. Ternyata Yhuzhof jatuh ke trotoar karena di serempet motor oleh pengendara motor, yang mengendarai motor dengan kecepatan tinggi. Karena kehilangan keseimbangan maka Yhuzhof pun jatuh ke trotoar jalan.
Uhh…leganya. Temanku tidak mengalami hal yang sangat memilukan. Masih beruntung, diberikan keselamatan oleh Tuhan. Setelah berbicara banyak dengan Yhuzhof, aku pulang ke rumah bersama Sapti dan Rini. Sedangkan Aris dan Ilyaz menjaga Yhuzhof. Sambil menunggu kedatangan kedua orang tua Yhuzhof.
***************
Selesai kuliah jam 11 siang, aku langsung pulang ke rumah. Tadinya sih mau ke ruangan Siaran dulu, tapi hari ini aku absen buat siaran di radio kampus. Biar aja Ardian yang menggantikannya. Aku harus pulang cepat, karena di rumah gak ada Mbak Iyem. Dia pulang kampung dari kemarin. Minta izin menghadiri saudaranya yang menikah dengan Pak Lurah. Hehhehe….jadi isteri ke 2 sih, tapi gak apa-apa lah, yang penting hidup terjamin, begitu kata Mbak Iyem, padaku sebelum pulang kampung.
Angkot yang ku naiki sudah berhenti di depan Supermarket BELANJA SEPUASNYA. Aku membayar ongkos angkot dengan uang pas. Dan masuk ke dalam supermarket. Mama menitip banyak daftar belanjaan. Karena semua stok di rumah udah pada habis. Aku seneng banget nih kalo di suruh belanja sama mama. Bisa cuci mata, dan bisa beli cemilan-cemilan buat di rumah. Sesuai pilihan aku, hehehhehe......
Aku mulai memilih barang-barang belanjaan seperti yang tertera dalam daftar yang ku pegang. Aku mengambil troli, agar barang belanjaanku bisa masuk semuanya ke dalam troli. Ketika, aku sibuk memilih barang-barang kebutuhan dapur, aku melihat seorang laki-laki yang tengah sibuk memilih sesuatu juga. Tapi koq, tingkahnya aneh. Seperti tidak tenang. Berpindah dari tempat yang satu. Diam. Lalu pindah lagi ke tempat lain, sambil tengok-tengok ke lorong lain. Wahhh…kayaknya aku mencium sesuatu yang kurang baik nih, tapi, aku gak boleh menuduhnya dulu. Nanti, malah menjadi fitnah.
Dengan rasa penasaran, aku hampiri laki-laki yang gelagatnya terlihat aneh itu.
“ Kamu…?? “ Aku kaget ketika laki-laki itu menatap wajahku. Laki-laki yang hampir tertabrak taxi, kemarin . Wajahnya seperti mau marah kepadaku. Aku jadi takut.
Laki-laki berambut gondrong itu mendekatiku. Aku menahan nafas. Takut dia mencelakakan aku. Aku benar-benar takut. Mata laki-laki itu merah sekali.
“ Kamu ngapain disini?? Hah…., selalu bertemu aku, rusak semuanya, tau!” Laki-laki itu melotot sambil mengacungkan jari telunjuknya pada wajahku.
Aku diam saja. Tapi, mataku terus menatap laki-laki itu. Dengan segala keberanian yang ada, aku singkirkan jari telunjuknya dari hadapan wajahku. Jari telunjuk yang dia acungkan saat itu udah seperti mata pisau yang siap menikam kedua bola mataku.
“ Dengar yach Mas gondrong…( aku gak tau harus panggil dia apa, karena aku gak tau nama dia. ), aku gak pernah minta sama Tuhan untuk dipertemukan sama mas terus, aku bukan mau mengganggu mas, emang aku lagi belanja disini! Jadi harap, jangan bilang aku mengganggu mas!” Huft…lancar juga aku mengucapkannya. Padahal, hatiku benar-benar diselimuti ketakutan yang teramat sangat.
Laki-laki itu menyingkirkan jari telunjuknya dari wajahku. Dia menatap wajahku beberapa saat. Dia seperti tersiram air yang sangat panas, mendengar kata-kataku yang tajam dan keras. Aku cuma mengucap syukur dalam hati. Laki-laki itu tidak berbuat kasar sama aku.
“ Kamu…bilang apa tadi, hahhh….Tuhan? apa kamu udah pernah ketemu Tuhan selama ini?? Laki-laki itu mengajukan pertanyaan padaku. Tajam dan dalam.
“ Iya. Udah. Setiap hari, Mas gondrong.” Ujar ku cepat. Laki-laki itu cuma diam mendengar jawabanku. Tak ada siapapun di lorong itu, gimana kalo dia benar-benar marah. Aku pasti akan berteriak meminta pertolongan atau kabur menjauh.
“ Dimana…hahh? Kasih tau aku!” Laki-laki itu bertanya lagi. Laki-laki yang aneh. Masa lagi belanja nanyain keberadaan Tuhan segala. Disini kan bukan tempatnya. Pikirku. Tapi gak ada salahnya, untuk menjawab pertanyaan laki-laki ini.
“ Disini dan disini. Di dalam pikiran dan hatiku.” Jawabku lembut, sambil menunjuk ke kepala dan dadaku.
Laki-laki itu menatapku kembali. Pandangannya mulai menyurut, tak lagi tajam dan marah. Lalu dia pergi meninggalkan aku tanpa bicara apapun lagi. Dia pergi tanpa membawa barang-barang. Aku memperhatikan kepergiannya. Sampai dia keluar dari Supermarket itu. Ketika di depan supermarket, laki-laki itu berhenti, dan menoleh ke belakang. Ya ampun, dia tau aku perhatikan. Ahh…bodo amat. Aku cuma berdoa, semoga aku tidak bertemu lagi dengan laki-laki aneh itu di kemudian hari.
***************
Badanku terasa pegal semuanya. Letih dan lelah. Seharian di kampus. Pulang kuliah, siaran di kampus sampai sore. Dari sore sampai malam, ngumpul di Senat buat siapin acara tahun baru bersama anak-anak jalanan dan gabung sama Rumah Cinta, Yayasan Sosial yang didirikan oleh mahasiswa kampus ini, sebagai wadah untuk anak-anak jalanan agar bisa mengembangkan diri, menjadi anak-anak yang penuh kreatifitas. Mereka semua dibekali pendidikan layaknya anak-anak Indonesia, ditambah dengan bekal pendidikan non akademis, yang mengarah pada keahlian pribadi berdasarkan hobi dan minat masing-masing anak.
Bersama-sama temanku di Senat, menyumbang sedikit ilmu dan kreatifitas untuk berbagi dengan mereka. Anak-anak jalanan yang butuh pendidikan dan kasih sayang. Aku pun sesekali membantu Rumah Cinta, dengan mengisi waktu dan membagi ilmuku, mengenai Bahasa Inggris dan Broadcast, untuk mereka, puluhan anak-anak jalanan yang biasa dikumpulkan di rumah Mico, Pendiri Yayasan Rumah Cinta.
Aku sudah memasuki wilayah komplek rumahku. Yang di jaga oleh 2 orang security komplek yang setia menjalani tugasnya setiap hari, Bapak Anton dan Bapak Donie. Tapi malam ini, kedua security itu tidak terlihat keberadaannya. Entah lagi keliling dimana. Biasanya sih, mereka selalu kutemui di depan pintu gerbang komplek ini. Tapi mungkin mereka berdua sedang berkeliling komplek. Mengawasi situasi dan kondisi, hingga dalam situasi aman dan terkendali ( hehehhe….itu khan bahasa aparat keamanan, aku cuma nyontek dech….).
Memasuki blok kedua, aku melihat ada huru hara disana. Sekelompok orang sedang mengeroyok seorang laki-laki. Mereka tidak menggunakan alat, tapi mereka yang berjumlah 4 orang melayangkan tinju, sampai berkali-kali ke wajah laki-laki itu.
Aku berlari mendekat, untuk mengetahui siapa sih yang sedang mereka keroyok.
“ Yaaa…ampun. Stop. Stop.” Aku berteriak. Berusaha menyudahi pengeroyokan ini.
Laki-laki yang sedang mereka keroyok adalah laki-laki berambut gondrong. Aku lihat laki-laki itu sudah merah lebam wajahnya. Ada darah mengucur dari bibir dan pelipis wajahnya. Semua yang mengeroyok langsung menghentikan aksi mereka sesaat setelah mendengar teriakanku.
“ Eh…Mba Indah…ada apa toh Mba…?” Irfan, tetanggaku bertanya.
“ Ada apa sih Mas Irfan…? Kenapa ribut – ribut begini? Ini siapa yang lagi dikeroyok? Dia salah apa Mas…?” pertanyaanku bertubi-tubi.
“ Dia mau maling, Mba..mau ambil tape mobil saya.” Irfan menjelaskan masih dalam keadaan emosi. Pemuda yang lain hanya diam saja.
“ Maling..?? kamu…? Bener Mas gondrong…? Tanyaku pada laki-laki yang udah tidak terlihat bentuk wajahnya. Bengkak disana-sini. Benar-benar tidak percaya. Waktu itu ketemu di Rumah Sakit, dalam keadaan babak belur, trus ketemu di Supermarket, mau mencuri barang-barang. Sekarang di komplek rumahku. Kenapa orang ini tak pernah jera juga sih?. Tanyaku dalam hati.
“ Namanya bukan Mas gondrong, Mba Indah…, tapi Tiar. “ Ujar Irfan.
“ Apa..?? Tiar…?” Aku terperanjat mendengar nama itu diucapkan, Aku pernah mendengar nama itu dari mulut Papa, yang selalu menceritakan nama itu dahulu, sekitar 2 tahun yang lalu tepatnya. Tiar, anak teman bisnis Papa, yang sekaligus juga bekas teman seperjuangan Papa dulu waktu di kampus, saat zaman Orde Lama berkuasa. Apakah ada kesamaan yach…? atau hanya kebetulan saja, dengan nama yang sama?.
“ Nama lengkap Mas siapa…? Boleh aku tau Mas…?” Aku bertanya pada laki-laki itu. Laki-laki yang bernama Tiar itu hanya diam. Dan diangkat wajahnya. Menatap wajahku. Sungguh kasihan melihatnya. Benar-benar terhina. Duduk di aspal dengan keadaan mengenaskan, dengan pakaian yang sudak acak-acakan, dan wajah yang gak karuan.
“ Raden Mas Bahtiar Saputro.” Akhirnya laki-laki itu menyebutkan namanya.
“ Ya Tuhan…, emang bener laki-laki itu, adalah anak teman bisnis Papaku. Tapi, kenapa nasibnya seperti ini? Bukankah Tiar, seperti Papa bilang sekolah Bisnis di Amerika? Kenapa sekarang jadi pencuri? tragis sekali jalan hidup laki-laki ini.” Gumam ku dalam hati.
“ Baiklah Mas Irfan dan semuanya. Kalo emang bener dia pencuri, mari kita bawa ke pos security untuk diproses lebih lanjut. Tak usah dihakimi. Dan saya akan menghubungi Pak RT dan Papa, agar Papa menghubungi orang tua Tiar. Karena orang tua Mas Tiar adalah teman bisnis Papa saya.“ Aku memberi solusi terbaik untuk mereka. Untuk Tiar juga.
Akhirnya mereka berempat membawa Tiar bersama-sama ke pos security. Disana udah ada Bapak Anton dan Bapak Donie. Mereka memproses semua masalah pencurian yang dilakukan Tiar. Pak RT dan Papaku segera ku hubungi. Mereka datang dalam waktu singkat.
Setelah Papa datang melihat keadaan Tiar, Papa memeluk Tiar erat. Seperti anaknya sendiri. Papa menitikkan air mata ketika memeluk Tiar. Begitu pun dengan Tiar, dia benar-benar menangis. Seperti kedua sahabat yang berpisah lama dan saling mencari, hanya untuk melepaskan rasa rindu. Tidak pernah mereka berdua berpikir akan dipertemukan kembali dalam keadaan seperti ini.
Papaku, Adam Rabinson adalah teman dekat Papa Tiar, Raden Mas Avianto. Mereka berteman dari sejak kuliah sampai mereka memiliki putra putri. Papa Tiar, adalah pengusaha property yang sukses, hingga sanggup menyekolahkan Tiar ke luar Negeri. Tiar adalah anak tunggal. Sedangkan Papaku memiliki 2 orang putri, aku dan kakakku, Wulandari. Dan Papaku adalah pengusaha Furniture yang sedang berjuang menuju sukses.
Namun, selama itu pula aku belum pernah dikenalkan Papa dengan Tiar, begitu juga sebaliknya. Aku dan kakakku hanya mendengar cerita tentang keluarga mereka saja. Selalu diselimuti kebahagiaan dan kesuksesan. Tak pernah terdengar kata kesedihan, apalagi sampai menyaksikan Tiar seperti ini. Roda telah berputar, bahkan teramat cepat. Membalikkan semua yang indah dan bahagia, menjadi sebuah cerita hidup yang tak pernah terbayangkan.
Papa membawa pulang Tiar ke rumah, untuk bermalam. Sedangkan kasus pencurian di komplekku langsung ditutup dengan sebuah perdamaian, berdasarkan musyawarah bersama. Keluargaku sangat senang menyambut kedatangan Tiar, karena Papa sangat berhutang kebaikan dengan Papa Tiar. Papa Tiar lah yang banyak membantu permodalan Papaku saat dulu Papaku mengalami masa-masa sulit menjadi pengusaha kecil.
Semalaman kami berempat mendengarkan cerita tentang Tiar, papanya mengalami kebangkrutan usaha 8 bulan lalu. Usahanya ditutup. Dan Papa Tiar membayar semua hutang-hutang pada pihak ketiga dengan menjual semua asset pribadinya. Karena asset perusahaan tidak mampu mencukupi jumlah hutang yang membengkak. Saat kesusahan menyentuh Papa Tiar, Mamanya pergi meninggalkan Papa Tiar. Papa Tiar mengalami depresi berat. Dan sekarang berada di Rumah Sakit Jiwa. Tiar yang sedang kuliah di Amerika, terpaksa pulang ke Indonesia dan bekerja serabutan, dengan modal ijazah SMA. Karena tidak cukup untuk membiayai hidup Papanya dan dirinya sendiri, Tiar beralih profesi menjadi penjual obat-obat terlarang ( Psikotropika dan sejenisnya ), dan sering kucing-kucingan dengan Polisi bila ada penggeledahan di Pub atau Diskotik tempat Tiar mencari mangsa. Selain itu, Tiar juga sering menjalankan aksi pencurian aksesoris kendaraan bermobil di malam hari, siangnya Tiar juga suka mencopet di pasar-pasar atau di angkutan umum. Hanya untuk membiayai pengobatan Papanya. Tak ada satu orang saudara pun yang membantu Papa Tiar. Mereka hanya menikmati kesenangan saat Papa Tiar berjaya, saat terjatuh, mereka semua lari tunggang langgang.
***************
“ Mau ikut ke acara teman-temanku malam ini, Mas Tiar? “ aku membuka percakapan. Di teras rumah…sambil menyiram tanaman-tanaman milik Mamaku.
“ Aku malu, Indah…,” Tiar ikut membantu merapikan rumput-rumput yang sudah tinggi di taman, dia mengguntingnya rapi. Dan Tiar pun sekarang rambutnya udah rapi. Udah tidak gondrong lagi.
“ Koq malu sih, Mas…? Ya gak apa-apa, Mas bisa terbuka lagi nanti pikirannya, bisa dapat pencerahan baru, Mas…”
“ Betul sih…tapi apa aku masih bisa diterima mereka?” Tiar masih ragu. Walau sebenarnya mau ikut.
“ Pasti mereka nerima, Mas…, tidak semua orang sukses itu memiliki alur hidup yang lurus-lurus aja Mas… mereka bisa berhasil karena mereka mau bangkit dari kesalahan, dan mau belajar untuk merubah hidup mereka, dengan berusaha berbuat lebih baik lagi, begitu lho yang Indah pelajari di kampus. Maaf yach, Mas Tiar jangan tersinggung…..,” sambil merapikan selang air, dan aku duduk di pinggir taman. Tiar juga sudah selesai menggunting rumput. Ikutan duduk bersama aku, menghadap ke arah jalan raya.
“ Kamu berhati baik, Indah…,” Tiar memuji aku. Aku cuma tersenyum.
“ Terima Kasih yach…udah menolong aku malam itu, kalo gak ada kamu, mungkin aku tidak berpikir untuk merubah hidupku, kamu benar, memang Tuhan yang mempertemukan aku dengan kamu. Tuhan sudah mengatur semuanya, agar aku punya malaikat kecil yang bisa memberiku jalan terang…menuju cahaya.”
“ Ahhh…Mas Tiar nih, so sweet banget dech, ya udahlah…yang pasti mas mau khan ikut ke acara aku nanti malam…..? Bisa dipastikan Mas Tiar akan berubah 360 derajat dech pas hadir disana, sekalian sumbang keahlian main gitar dan menyanyi yach…anak-anak Yayasan Rumah Cinta pasti bahagia dengan kehadiran Mas malam ini, bisa berbagi cerita…dan memotivasi mereka untuk menjadi orang yang lebih baik lagi di tahun yang akan datang.”
“ Bukan cuma mereka yang bahagia nanti malam, Indah…” Tiar menatap aku. Gak seperti waktu bertemu pertama kali. Penuh amarah dan rasa benci.
“ Tapi aku juga…seperti mendapat kado yang tak terlupakan di akhir tahun ini, “ Wajah Tiar memancarkan kebahagiaan, yang beberapa bulan lalu telah direnggut dari kehidupannya. Sebuah realita hidup yang harus dijalani walaupun sangat pahit dan getir.
Begitulah kehidupan manusia, harus bisa menerima cobaan hidup yang diberikan Tuhan, agar bisa berpikir dan terus berpikir untuk keluar dari masalah dan ujian, untuk menjadi pribadi yang LEBIH BAIK bahkan pribadi yang lebih HEBAT, hingga bisa membimbing dirinya dan sesamanya untuk tetap berbuat kebaikan sepanjang hidup.
“ Ya aku setuju…., tapi, 1 syarat yach untuk kamu, “ Tiar menyanggupi permintaan aku, dengan mengajukan syarat. Duhhh…apaan yach…? Jangan yang susah –susah keq, ujarku dalam hati.
“ Apa Mas…? “ aku menunggu jawaban dengan perasaan dag dig dug.
“ Besok pagi, ikut aku tengok Papaku yach….? Mau mengenalkan hadiah tahun baru aku ke Papa, hahhahaa…..” Tiar tertawa terbahak-bahak.
“ Boleh…siapa takut, Mas…!” Aku ikut tertawa bahagia juga.
Terima Kasih Tuhan, telah kau percikkan Cahaya-Mu untuk menerangi hati temanku yang dahulu gelap. Semoga Tiar dan Papanya bisa mereguk kebahagiaan yang dulu pernah hilang. Terima Kasih Tuhan, Engkau telah mempertemukan aku dan keluargaku dengan Tiar, Sujud Syukur pada-Mu Tuhan.
***************
Jakarta, 31 Desember 2009
Menjelang Malam Tahun Baru 2010