Selasa, 11 Oktober 2011

Ketika Cinta Tak Lagi Putih ~ Part 2


“ Aku hanya menjalankan kisah kehidupan yang tlah Tuhan gariskan untukku, lalu kenapa aku harus mencaci-Nya dan marah pada-Nya bila terjebak dalam kekecewaan yang mewarnai penggalan kisahku? Karena begitulah cara Tuhan mengajariku kesabaran dan rasa ikhlas.

” Jarum jam berdentang 12 kali dengan kerasnya di kamar Dinda. Dinda membelalakkan kedua matanya tiba – tiba, matanya menatap langit – langit. Dimiringkan tubuh mungilnya ke sebelah kiri. Tak dilihatnya siapa – siapa. Dinda hanya berada sendirian di dalam kamarnya malam ini. Dinda termenung. Dirasakan seluruh tubuhnya menjadi dingin, padahal malam tadi sebelum tidur Dinda tak menyalakan kipas angin di kamarnya. Kemana sahabatnya Putri? Bukankah malam ini dia bermalam di sini ? Dinda celingukan mencari Putri. Dilangkahkan kedua kakinya menuju jendela kamar. Dibukanya jendela kamarnya. Dirasakan tubuhnya semakin dingin, di tengoknya teras depan yang langsung berhadapan dengan kamarnya. Ditemukan pandangan matanya terhenti pada seorang laki – laki yang duduk disana dengan gelisah. Sejurus kemudian laki – laki itu membalikkan badannya, menatap Dinda. Dinda kenal sekali dengan wajah laki – laki itu. Sedang apa dia disini ? Tidakkah terlalu malam bertamu ke rumahku saat orang lain terlelap dalam mimpi ?. Laki – laki itu tersenyum pada Dinda. Lalu pergi meninggalkan teras tanpa bicara apapun. Dinda mengucapkan istighfar berkali – kali dalam hatinya. Semoga saja apa yang telah kulihat malam ini adalah laki – laki yang ku kenal. Ucap dinda. Dinda segera menutup jendela kamarnya lagi dan naik ke atas tempat tidur. Dilupakannya peristiwa di teras itu.

 **********

 “ De…adakah waktu sebentar saja..?” Asril berlari – lari mengejar Dinda di pelataran kampus. “ Assalamu’alaikum bang…! Ada apakah bang…?” Dinda memberi salam. “ Ikut abang yuk…? Kita jalan – jalan sebentar saja ke Plaza..? boleh..?” Asril memohon. “ Aku tak bisa bang.., ada tugas kampus yang harus kukerjakan di rumah.” sahut Dinda. “ De..tega nian kamu sama abang…, hanya kamu De…yang abang perlakukan istimewa seperti ini. Mau yach De…? Sekali ini saja De…!” Asril menghalangi langkah Dinda. “ Sekali ini saja yach bang…!” akhirnya Dinda luluh juga hatinya. Tak dikiranya tawaran Asril kali ini adalah jeratan yang sangat dahsyat untuk hidup Dinda. “ Silakan De…,” Asril membukakan pintu mobil pribadinya untuk Dinda. “ Aku benar – benar bahagia De…kamu tidak menolak tawaran baikku. Terima Kasih yach De…,” Asril memperhatikan wajah Dinda tanpa berkedip. Dinda tersenyum kecil. “ Ada yang hendak kutanyakan pada abang, bolehkah..?” tanya Dinda. “ Tentang apakah itu De…?” tanya Asril sambil mengemudi. “ Kenapa abang semalam berada di teras rumahku saat jam 12 malam…?” tanya Dinda menatap mata Asril dengan sorot mata penuh curiga. “ Tidak, De. Aku tidak bertamu ke rumahmu semalam, apa lagi jam 12 malam. Aku sedang tertidur di rumahku, De…,” jawab Asril. Dinda hanya terdiam saja. Pikirannya bertanya – tanya dan mencari jawaban. Ahh..mana mungkin yang kulihat bukan Asril..? Syaithon atau Ibliskah yang hendak mengganggu tidurku..? Ya Allah…lindungilah aku dari godaan Syaithon yang terkutuk, jauhkanlah aku dari orang – orang yang akan berbuat zalim kepadaku. Dinda berdoa dalam hati. Telepon seluler Asril berbunyi nyaring. Asril tetap asyik mengemudi. “ Angkatlah bang..tak baik mengacuhkan telepon dari orang lain, mungkin ada berita penting yang mau disampaikan kepada abang…,” ujar Dinda. Asril melirik ke ponsel yang di letakkan di sebelah kanan didekat jendela mobil. “ Sudahlah tak penting, cuma supir papaku. Paling – paling mau menanyakan keberadaanku sekarang.” Asril mengelak. Dindapun tak berani membantah jawaban Asril. Hanya menelan ludah saja. Begitu sombongnya Asril, menyepelekan orang lain yang begitu perhatian pada keselamatan dirinya. “ Kenapa…? Tak percaya kamu, De …kalau itu telepon dari supir papaku ?” “ Percaya bang..., tak ada untungnya kan aku berfikir buruk kepada abang ? hanya membuat susah hatiku saja.” Dinda mencairkan suasana yang dirasakannya tak enak. “ Baguslah De…kalau kamu berfikir seperti itu. Tetap percayalah padaku, De…aku tak mungkin membohongi kamu, karena aku sayang sama kamu, De.” Dinda tersenyum manis. “ Ya semoga saja ucapan dan hati abang selaras.” jawab Dinda. “ Tentu saja, De. Aku ingin melakukan apa saja untuk kamu, De…semua yang terbaik yang bisa aku berikan untuk kamu.” ucap Asril manis. Dan Dinda tak bisa menghindari lagi propaganda Asril telah menghujam jantungnya dengan sangat telak. Melambunglah perasaan Dinda saat itu. Telah terlupa janji hatinya untuk tidak menerima begitu saja kehadiran Asril masuk kedalam kehidupannya untuk kedua kalinya. “ Aku hendak balik ke kotaku esok pagi, aku mau mengurusi klub motor sportku. Ada event penting di pertengahan bulan nanti, aku harap ketika aku kembali kesini, kamu tetap menantiku, De.” pinta Asril pada Dinda. “ Insya Allah yach bang..!” “ Aku mau kepastian, De…,” kejar Asril. “ Akan aku pertimbangkan kembali permohonanmu, bang..!” “ Tidak..! aku tak mau ditimbang lagi, aku mau kamu tetap menantiku, hanya untuk hatiku. Bukan kepada hati yang lain.” Asril mulai memaksa hati Dinda. “ Baiklah abang.” Dinda pun mengalah. Entah apa yang ada didalam pikiran Dinda. Perempuan muda itu begitu tidak tega menolak dengan tegas permintaan dari seorang Asril. Ataukah Dinda memang bermaksud membodohi dirinya kembali untuk kedua kalinya ? begitukah adanya cinta yang bersemayam di hatinya, hingga rasa sakit yang pernah hadir dapat terhapus begitu saja ketika pesona Asril hadir kembali tanpa permisi.

 **********

 Sejak kepergian Asril meninggalkan kota Bandung, kehidupan Dinda menjadi berubah. Setiap hari kerjanya hanya melamun di depan jendela kamarnya. Memandangi foto Asril disaat Dinda hendak pergi tidur. Setiap hari hanya menanti ponselnya berbunyi hanya untuk mendengarkan suara Asril dari kejauhan. Begitu terus setiap hari. Setiap saat yang diingat hanyalah nama Asril dan Asril, entah apa yang meracuni pikiran Dinda saat ini, kehadiran Asril yang tiba – tiba dan kepergian Asril yang tiba – tiba pula malah membuat hidupnya seperti tak punya pegangan, tak ada kendali. Semuanya hanya terfokus pada Asril. Hari – hari yang dilalui bersama sahabatnya Putri pun menjadi renggang. Dinda lebih suka menghabiskan waktu di rumah, hanya untuk merenungi tentang Asril. Laki – laki itu seperti Syaithon…yang bisa hadir dimana saja dan kapan saja, bisa menjelma siapapun yang dia kehendaki, dan bertahta dengan tanduk di kepala dan gigi bertaring di hati Dinda. Kedudukan laki –laki itu dihatinya, telah mengalahkan kecintaannya pada Tuhan yang telah menciptakannya. Kemanapun kaki Dinda melangkah keluar rumah, semua orang yang dilihatnya hanyalah wajah Asril. Telah dibuat jatuh cinta rupanya gadis cantik itu. Gadis cantik yang selalu dikejar Asril dan dipermainkan hatinya ataukah Dinda memang mengizinkan sebagian hatinya untuk dipermainkan laki – laki tersebut ? jawabannya hanyalah cinta. Cinta Dinda menutup mata hatinya. Menutup akal sehatnya yang selama ini selalu digunakan dengan baik.

 **********

 “ Kenapa abang tak bilang padaku…?” Dinda menangis tersedu – sedu di ujung telepon genggamnya. “ Maafkan abang…takut menyusahkan hatimu.” Asril menyahut. “ Bagaimana keadaan abang sekarang..?” Dinda masih menangis. “ Kaki abang patah sebelah kiri, De…abang cidera fatal.” Asril memaparkan musibah yang dideritanya. “ Motor sport abang hancurkah..?” Dinda bertanya lagi. “ Ya..tapi tak mengapa, De. Yang penting abang selamat dari kematian. Itu saja yang abang syukuri.” Asril terbata – bata menjawab pertanyaan Dinda. “ Syukurlah bang…, abang masih bisa mensyukuri nikmat hidup dan sehat dari Allah. Tetap sabar yach bang…aku akan menanti abang sampai abang sembuh kembali.” “ Terima kasih banyak yach, De…tak sia – sia aku memilih kamu.” Setiap hari Dinda begitu khawatir dengan keadaan Asril. Setiap saat pula, Dinda menjalin komunikasi yang baik dengan Asril. Dicurahkannya segala perhatiannya untuk Asril, memacu semangat Asril agar bisa menghadapi hidup dengan optimis, mengerahkan segala usaha Dinda untuk meyakinkan Asril bahwa apapun yang terjadi di depan nanti, Dinda tetap bisa menerima Asril apa adanya. Begitulah cinta, kekuatan cinta telah membuat jarak mereka yang sangat jauh menjadi dekat. Keadaan yang tidak mengenakkan membuat pihak yang lain merasa ikut merasakan kesakitan dan penderitaan. Dan kekecewaaan yang mendalam atas kecerobohan diri sendiri tiba – tiba bisa menjadi penyesalan yang berujung. Karena seseorang yang hadir dalam hidupnya memberikan semangat hidup yang tulus dan suci.



 Tangerang, 15 Juli 2010

Ananda Maulida Toffanie ~ Chapter 2

Ananda kembali ke rumah dengan perasaan senang tiada terkira, ibunya yang sedari tadi menunggunya di depan pintu rumah, kini bisa bernafas lega. Ananda mengucapkan salam, ibunya menyambutnya dengan suka cita, putrinya yang dijadikan tulang punggung keluarga itupun mencium tangan ibunya. “ Ibu koq belum tidur ?” tanya Ananda sambil merebahkan tubuhnya diatas lantai yang beralaskan tikar usang. “

Menunggu kamu belum juga datang, ibu khawatir sekali nak.” Ibu Nanda segera memijat – mijat kaki Ananda. “ Ya, bu..malam ini, Nanda dapat rejeki yang tak terhingga. Alhamdulillah banget bu, Nanda bener – bener seneng bu.” Ekspresi di wajah Nanda begitu bahagia. Ibunya tak bertanya lagi, terus saja memijat kaki putrinya dan lengannya. “ Bu, laper nih, masih ada makanan yang bisa aku makan gak..?” “ Ada, Nanda. Sebentar ya ibu ambilkan untukmu.” Ibu Nanda beranjak ke dapur, mengambil piring berisi makanan yang sudah disiapkan oleh ibunya sejak beberapa jam lalu. “

Bismillahirohmanirrahim....allahumma bariklana fimma rojaktana waqina ajabanar.” Nanda memanjatkan doa sebelum menyantap makanannya. Ibu Nanda tersenyum bahagia melihat putri pertamanya membaca doa dan menyantap makanan itu dengan lahap. “ Ini, untuk ibu…ayoo buka mulut ibu, aku suapin.” Nanda menghampiri ibunya. Ibunya menggelengkan kepalanya. “ Ayoo dong bu, makan bareng Nanda, kenapa sih ibu tidak pernah mau makan malam…?” Nanda mengunyah makanannya yang berisi nasi dan sepotong tempe saja. “ Ibu udah bahagia lihat kamu pulang dengan selamat, nak. Tak ada kebahagiaan lagi selain bisa melihatmu sehat wal’afiat kembali ke rumah. Maafin ibu ya nak, belum bisa bahagiakan kamu.” Ibu Nanda menitikkan airmata.

 “ Ibu jangan sedih begitu dong, tar Nanda ikutan sedih juga, Nanda lagi seneng nih malam ini, ternyata Allah tuh tak pernah tidur yach bu, Dia dengar lho doa Nanda setiap kali Nanda mau berangkat nyanyi sama Deli, Endra dan Sofian.” “ Seneng karena apa sih nak ? ibu jadi penasaran dech.” Ibu Nanda akhirnya mau tau juga apa yang tengah dirasakan putrinya itu. Nanda meletakkan piring makanannya yang telah habis disantapnya. Duduknya merapat kesebelah ibunya. Dia memeluk tubuh ibunya erat, lalu mencium pipi ibunya. “ Nanda bahagia bu, sangatt bahagiaaaa…, Gak pernah yach sepanjang Nanda nyanyi malam – malam di jalanan ada yang perhatian sama Nanda. Orang – orang yang menonton Nanda biasanya hanya melemparkan uang recehan atau uang ribuan kedalam topinya Deli, tapi malam ini beda banget. Ada seorang gadis cantik bernama Athifa dan Fauziah yang memuji penampilan dan suara Nanda, yang hebatnya lagi bu, Nanda dikasih kartu nama sama Athifa. Dia mengundang Nanda minggu depan untuk menyanyi dan menari di acara ulang tahunnya. “ “ Oh yach…?” ibu Nanda terperanjat kaget. “ Iyaa bu…beneran! Anak orang kaya bu, ramah lagi sama Nanda, yang bikin Nanda seneng yach bu, Nanda bisa lihat gimana sih pesta ulang tahun anak orang kaya, Nanda khan gak pernah datang ke pesta ulang tahun, gak pernah juga merayakan hari lahir Nanda, Nanda boleh yach bu, minggu depan datang ke rumah Athifa ? boleh khan bu ?” “ Ya, nak. boleh, apapun kalau memang niat dan tujuan kamu baik, ibu izinkan. Janganlah kamu meminta bayaran sama mereka, khan kamu diundang kesana.” Ibunya mengingatkan putri kecilnya. “ Ohh..gitu yach bu ? tapi khan lumayan bu, untuk bantu ibu beli beras dan lauk, untuk adik – adik Nanda jajan disekolah.” Nanda merajuk lagi. “ Kalau kamu pamrih dalam memberi, esok hari kamu juga akan diperlakukan seperti itu oleh orang lain.” Ibunya menasehati. “ Masa sih bu, seperti itu ?” tanya Nanda. “ Iya nak, berbagi dengan sesama itu punya nilai yang lebih dimata manusia dan Tuhan. Tuhan lebih menyukai sesuatu hal yang suci, tulus dan ketulusan itu datangnya dari hati. ” “ Ohh…jadi kalau kita baik sama orang lain, Tuhan lebih sayang sama kita yach bu ?” Nanda mempertegas maksud ucapan ibunya. “ Ya, nak. Begitulah tepatnya. Dan Insya Allah rizki kamu akan mengalir deras seiring dengan kebaikan yang kamu berikan.” “ Amien yach bu,” Nanda tersenyum puas, sebelum berangkat tidur, diciumnya kembali pipi ibunya kanan dan kiri, lalu pamit untuk menunaikan ibadah sholat isya.

 ******************

 “ Kamu gak salah, Thifa, mau undang penyanyi kampung itu untuk isi acara ultahmu 2 hari lagi…?” tanya Fauziah dirumah Athifa, tidak jauh dari rumah Ananda. “ Ya gak salahlah, ini khan acara aku. Aku bosan tuh kalau setiap ulang tahun yang diundang Bunda anak – anak komplek sini, semuanya pada belagu, pada pamer. Lagi pula ngapain juga acara ultah di Kafe atau di Restaurant mahal ? buang – buang uang saja, tapi gak bermanfaat.” Athifa menggerutu. “ Memangnya kamu mau undang siapa sih di acara ultahmu kali ini ?” Fauziah memainkan netbook didepannya, mulai menjelajah dunia maya yang sangat digemarinya. “ Heran deh, browsing melulu, tar bengkak tuh tagihan internet papa mu.” tegur Athifa sambil menyeruput jus sirsak yang disediakan mba Desi tadi. “ Ya, biarin ajaa…khan papa ku yang bayar, bukan aku, hhehe…, heyy, jawab dong pertanyaanku barusan, Thifa.” “ Mau undang teman – temannya Nanda satu kampung.” sahut Athifa. “ Astaga! Gak salah dengar nih aku ???” Fauziah terkejut demi mendengar jawaban sepupunya itu. “ Aneh khan…??? Iyalah kamu aneh, Bunda juga aneh denger keinginan aku. Mau tau gak kenapa aku aneh ?” ledek Athifa. Fauziah menatap Athifa, meminta jawaban, mulutnya ditutupnya sendiri dengan tangan kanannya. “ Bagus deh tutup mulut kayak gitu, dengar yach saudariku…,” lanjut Athifa. Fauziah menganggukan kepala, tetap dengan posisi tangan kanannya menutup mulutnya sendiri, mungkin Fauziah gak mau memotong kalimat Athifa, karena Athifa tidak suka kalau ucapannya dipotong sebelum selesai berbicara. “ Karena bang Fauzan bilang, berbagi dengan sesama itu sangat indah. Kita bisa merasakan kebahagiaan sebagai pemberi, menerima itu bagus, tapi orang yang bisa memberi kepada orang lain yang tidak mampu itu, jauh lebih bagus.” “ Masa iya…? Tapi, kamu tak akan mendapat hadiah apapun dari mereka, Thifa. Mereka khan tak punya uang untuk membeli hadiah untukmu. Gimana tuh Thifa ?” Fauziah menghentikan aktifitasnya sesaat. Sambil menghabiskan sisa jus sirsaknya Athifa menarik nafas dalam – dalam, dihembuskannya perlahan. Sementara Athifa tetap menanti dengan tidak sabar. “ Hadiahku akan banyak nanti,” jawab Athifa. “ Dari siapa ?” “ Tuhan. Dia Yang mengatur hadiah untukku nanti.” Athifa tersenyum puas. “ Siapa yang bilang kayak gitu ? bang Fauzan lagi ? koq dia gak pernah sih ngomong kayak gitu sama aku ?” “ Mungkin pernah, cuma kamunya aja yang lupa, masuk telinga kanan, keluar telinga kiri sih.” sahut Athifa. Fauziah tertawa lepas, sepupunya tau aja kebiasaan jeleknya, sering tak mengindahkan pesan – pesan abangnya sendiri. Karena kesibukan bekerja dari kedua orang tua mereka, Fauzanlah yang dipercaya untuk mengawasi dan memberikan tips – tips buat pergaulan mereka sehari –hari. 

******************

 Hujan diluar rumah Ananda sangat deras sekali sore itu, sedangkan acara ulang tahun Athifa tinggal 1 jam lagi. Ananda sudah menanti dengan penuh kesabaran, dari tadi bibirnya tidak berhenti berkomat – kamit, seperti sedang memanjatkan doa. Deli, Endra dan Sofian hanya diam saja. Mereka sudah lebih dulu panik dan resah. Kenapa harus turun hujan sekarang sih disaat acara penting kayak begini ? Ananda ingin sekali menangis, namun ditahannya sekuat hati. Ibunya yang terus mendampingi putrinya, terus menghiburnya dari sejak 1 jam lalu. Ananda sudah berdandan sempurna. Dengan gaun yang dijahit ibunya 2 tahun lalu yang berwarna merah muda, Nanda sangat terlihat manis, rambutnya yang panjang terurai sebahu, dihias ibunya dengan bando berwarna putih yang dibelinya dipasar malam tempat Nanda tinggal. Sedangkan sepatu berwarna putih yang dikenakan Nanda, adalah sepatu yang dihadiahi Ayahnya yang bekerja sebagai buruh kasar di Pasar, itupun pemberian dari seorang ibu yang baik hati yang menggunakan jasa Ayahnya Nanda untu mengangkut sayuran atau belanjaan lain ke mobil ibu itu. Semuanya dikenakan Nanda dan terlihat serasi di tubuh Nanda yang imut – imut. “ Hujan telah berhenti nak, pergilah kalian…semoga kalian tidak mengecewakan undangan Athifa sore ini.” Ibu Nanda melepas kepergian Nanda dan ketiga orang temannya.

 ******************

Tamu undangan telah datang di rumah Athifa yang luas dan mewah itu. Mobil – mobil mewahpun telah
memenuhi lahan parkir dipekarangan rumah Athifa, mba desi sibuk melayani tamu – tamu istimewa yang sepertinya adalah relasi Ayah dan Bundanya Athifa. Disana pun telah hadir Fauzan, Fauziah dan kedua orang tua mereka. Mereka terlihat begitu suka cita menyambut kedatangan Ananda dan ketiga orang temannya yang masih sangat muda namun berbakat bermain musik dan bernyanyi. Ananda dan ketiga temannya mulai memasuki pekarangan belakang rumah Athifa, yang pantas disebut sebagai area kolam renang dan taman. Disana semua hidangan yang lezat telah tersaji dengan lengkapnya dimeja yang berukuran sekitar 3 meteran itu, Namun alangkah terkejutnya ketika Nanda menyaksikan pemandangan didepan kolam renang sana, telah duduk dengan rapi, dikursi yang berjumlah 30 buah itu, anak – anak kecil sebayanya yang berpakaian muslim itu, bagus, indah dan seragam. Ananda dan ketiga temannya tak bisa berkata apa – apa lagi demi menyaksikan pemandangan itu. “ Terkejut yach Nanda ?” sapa Athifa, tiba – tiba berdiri disampingnya. “ Iyaa Athifa. Itu semua adalah teman – teman dirumahku. Terima kasih banyak telah membawa mereka ke rumahmu yang bagus ini.” Nanda terbata – bata menjawab. “ Oh ya, ini perkenalkan Ayahku, dan ini Bundaku.” Nanda mencium tangan Ayah dan Bunda Athifa. Begitupun ketiga teman Ananda, mengikuti apa yang Nanda lakukan. Ayah dan Bunda Athifa bahagia banget, putrinya bisa berteman dengan Nanda dan ketiga temannya yang penuh sopan santun, Walaupun mereka berasal dari keluarga miskin, namun mereka tetap menjunjung tinggi rasa hormat pada orang yang lebih tua. Gak peduli walaupun mereka bukan saudara atau orang tua kandung mereka. “ Kamu beruntung yach Athifa, memiliki semua ini, dapat merayakan ulang tahun kamu dengan mengundang teman – temanku yang tidak mampu, jangankan untuk membeli baju sebagus itu, membeli hadiah untuk ulang tahunmu pun mereka tidak mampu. Athifa tersenyum. “ Ya, mereka adalah hadiah untukku. Kamu juga. Aku sekarang bisa punya teman banyak, tidak melulu dari kalangan seperti aku. Lain waktu, aku boleh yach main ke rumahmu bersama Fauziah ?” “ Sungguh ? rumahku jelek, adik – adikku juga norak, kalo lihat orang kaya ke rumahku, hhehhe.....,” Athifa dan Nanda tertawa bersamaan, hari yang bahagia, dengan akhir yang bahagia pula. 

******************

 “ Happy birthday yach, sahabatku………!” “ Ya ampun, Nanda……masih aja melototin album foto itu, udah 15 tahun lalu kali tuch.” Athifa mencubit pipi Nanda berulang – ulang. “ Iyaaa……seneng banget aku ingat masa – masa dulu,, gak sangka ajaa…aku bisa jadi penyanyi terkenal sekarang, dan kamu malah jadi pengusaha industri rekaman .” “ hhhehhe,,, iyalah dari kecil bergaulnya sama penyanyi,” sahut Athifa sambil menutup album foto yang dipegang Nanda. “ Semoga sehat selalu yach, Nanda. Doaku menyertaimu selalu, sahabatku.” “ Ayooo……mau aku traktir dimana ? Deli, Andra, Sofian, Fauziah, dan Fauzan udah nungguin kita dari tadi.” Athifa meraih lengan Nanda, menggandengnya keluar ruangan kerjanya. “ Dimana ?, aku khan ada skedul tampil live di Stasiun TV Swasta pagi ini.” Nanda bingung, karena tak menyiapkan acara apapun untuk hari spesialnya ini. “ Rumah Yatim Piatu, say, dibilangan Jakarta Barat. Ayooo lahh…kita berbagi kepada mereka, ku tunggu yach dimobil.” “ Hmmm,, kamu bohong khan soal skedul live di Stasiun TV Swasta itu ? iya khan, Thifa ??” Ananda penasaran. “ Soal tampil livenya sih gak bohong, Cuma tempatnya aja yang pindah say.” Athifa tertawa – tawa. “ Hmmm, Athifa…Athifa….dari dulu gak berubah, selalu penuh kejutan.” Mobil sedan mewah milik Ananda pun melaju kencang meninggalkan studio rekaman terbesar di kawasan Jakarta yang ternyata milik Athifa itu.


Tangerang, 7 Oktober 2011

Thanks To Fauzan Asril Hakim, Athifa Putri Shafira, Ananda Maulida Toffanie and Fauziah Amira Silmi.

Ananda Maulida Toffanie ~ Chapter 1

“ Ayolah kita pulang, Athifa !” Fauziah menarik lengan Athifa. Athifa menggelengkan kepalanya. Enggan beranjak dari kerumunan orang – orang yang berebutan melihat aksi gadis kecil yang bernyanyi dan menari dengan diiringi musik dibelakangnya. Gadis kecil yang menjadi tontonan orang – orang itu sebenarnya cantik, tapi karena gadis itu berpakaian kurang rapi dan kurang bersih, jadi terlihat kurang cantik wajahnya. Namun, ada sesuatu yang berbeda dari aura gadis kecil itu. Entah apa, hingga membuat Athifa tetap saja memandangi penampilan gadis kecil itu hingga selesai menyanyi dan menari sendirian, dengan kepercayaan diri yang penuh. Musik dibelakang gadis kecil itu akhirnya selesai juga, lalu pemain musik yang memegang gitar segera melepas topi yang dipakainya dan langsung menghampiri penonton dan menyodorkan ke penonton yang sudah bersiap – siap memberikan uang koin atau uang lembaran rupiah ke dalam topi si pemain gitar yang berperawakan kurus dan tinggi itu. “ Terima Kasih banyak mas dan mba untuk pemberiannya malam ini, semoga malam ini menjadi malam yang teramat indah untuk mas dan mba sekalian, sampai ketemu lagi dengan grup ANTI SUSAH HATI yach di lain kesempatan, Selamat malam semuanya !” gadis kecil yang baru saja bernyanyi dan menari itu mengucapkan salam perpisahannya kepada penonton di sana. Penonton pun bubar detik itu juga setelah gadis kecil itu memberikan senyumnya, pemain gitar tersenyum – senyum karena mungkin saweran penonton malam ini sangat memuaskan hatinya. Mereka bertiga langsung menghitung uang pendapatan mereka barusan sambil berjongkok. Sedangkan gadis kecil yang bernyanyi itu hanya duduk saja di dekat mereka. “ Hei…kamu berdua siapa ? kenapa masih berdiri di situ ?” sapa gadis kecil itu kepada Athifa dan Fauziah yang masih memperhatikan gadis kecil itu. “ Boleh kami ke situ..?” tanya Athifa yang masih berdiri mematung memandangi gadis kecil itu. Gadis kecil itu mengangguk dan tersenyum. Athifa dan Fauziah segera menghampiri gadis kecil itu dan 3 orang pemain musiknya. “ Kalian berdua kenapa malam – malam masih di sini ?” selidik gadis kecil itu. Athifa mengulurkan tangannya kepada gadis kecil itu. “ Namaku Athifa, dan ini sepupuku…Fauziah namanya.” “ Ohh,” gadis kecil itu pun menyambut uluran tangan Athifa dan Fauziah. “ Namaku Ananda, panggil saja Nanda.” “ Bagus namamu.” Athifa memuji gadis kecil yang bernama Ananda itu. “ Terima Kasih atas pujianmu. Ibuku yang memberikan nama itu,” gadis kecil itu tersenyum. Ternyata, senyum gadis kecil itu sangat manis sekali. “ Aku suka suaramu, merdu. Dan aku juga suka tarianmu luwes dan keren abis, hhehhe…,” Athifa langsung membuka percakapan. “ Terima kasih sekali lagi, Athifa.” Gadis itu mengajak Athifa duduk di bangku taman tak jauh dari 3 pemain musik itu berada. “ Aku sudah kedua kalinya menonton pertunjukanmu, bagus banget. Kamu belajar nyanyi dimana ?” Athifa menatap Ananda. Ananda tertawa lepas. Fauziah heran sesaat. “ Serius ! bagus banget ! Mau gak datang ke ulang tahunku minggu depan ? Ayah dan Bundaku pasti suka lihat penampilan kamu.” Sekali lagi Ananda tertawa lepas. Fauziah bingung melihat sikap gadis kecil itu. Athifa dengan sabar, menanti jawaban gadis kecil itu. “ Baru dengar aja ada anak orang kaya mau manggil grup kita yang cuma grup penyanyi kampung.” Ananda tertawa lagi. “ Kita itu akan menjadi seperti apa yang kita pikirkan, Nanda.” Ananda terdiam. Lalu memandang Athifa tajam. Athifa tersenyum menatap bola mata Ananda. “ Siapa yang bilang ??” Ananda penasaran dengan kata – kata Athifa. “ Ayahku, My daddy. Kenapa ? ada yang aneh ?” tanya Athifa. “ Enggak. Hanya saja, aku gak mau menjadi penyanyi kampung sampai aku dewasa nanti, aku pengen banget jadi penyanyi yang mendunia. Yang terkenal dan bisa berguna untuk orang lain dengan bakatku itu.” Athifa tertawa, Fauziah juga. “ Lho koq kalian berdua malah tertawa ? menghina yach…?” Ananda cemberut. “ Ya gak lah, Nanda. Kita juga baru dengar ada penyanyi kampung punya cita – cita setinggi itu. Tapi suka banget nyebut dirinya penyanyi kampung.” “ Iya, aku cuma merasa gak pede aja. Kadang malu sendiri kalau ingat punya cita – cita setinggi langit, tapi gak aku imbangi dengan kepercayaan diriku, padahal banyak orang – orang yang bilang aku anak yang berbakat.” “ Kamu kelas berapa ?” tanya Fauziah. “ Kelas 5 SD, kalian ?” sahut Ananda. “ 1 kelas di atasmu.” jawab Fauziah. “ Lalu kalian kenapa ada disini malam – malam ?” Ananda mencari tahu rasa penasarannya. “ Nungguin Ayahku yang lagi berbelanja di seberang sana, karena ada tontonan di depan toko itu, maka kita berdua menghampiri kamu. Dan ini yang kedua kalinya kita menonton.” Ulas Athifa. “ Ohh gitu,” “ Itu ayahku sudah datang, kita pamit dulu yach, oh ya…ini nomer telepon rumahku, kabari aku ya besok untuk jawabannya.” Ananda mengambil sebuah kartu nama yang diberikan Athifa, kartu nama Ayahnya. Ananda melepas kepergian Athifa dan Fauziah dengan senyuman yang bahagia, gimana tidak bahagia ? di saat malam dan dingin menyergap, harus mencari uang dengan bernyanyi dan menari untuk membantu kedua orang tuanya, membiayai pendidikannya di bangku Sekolah Dasar, bersama 2 orang adiknya yang juga masih bersekolah. Lalu ada 2 orang bidadari cilik menawari tawaran yang menyejukkan hati 1 minggu ke depan. Tawaran ini adalah yang pertama kalinya dalam hidup Ananda, diundang untuk tampil di acara ulang tahun. Merayakan hari ulang tahun aja, Ananda belum pernah merasakannya, apalagi bisa jadi tamu di hari ulang tahun orang lain. Hmm,, Kalau Tuhan sudah memilih untuk mengubah kehidupan seseorang tiba - tiba, siapapun takkan bisa luput. Begitu Ibu Ananda pernah bilang.
Tangerang, 21 September 2011 Teruntuk Ananda Maulida Toffanie, Fauziah Amira Silmi semoga bahagia di alam sana. Teruntuk Athifa Putri Safira, semoga sehat selalu yach, jadi anak yang sholeha.

Fans