Selasa, 11 Oktober 2011

Ketika Cinta Tak Lagi Putih ~ Part 2


“ Aku hanya menjalankan kisah kehidupan yang tlah Tuhan gariskan untukku, lalu kenapa aku harus mencaci-Nya dan marah pada-Nya bila terjebak dalam kekecewaan yang mewarnai penggalan kisahku? Karena begitulah cara Tuhan mengajariku kesabaran dan rasa ikhlas.

” Jarum jam berdentang 12 kali dengan kerasnya di kamar Dinda. Dinda membelalakkan kedua matanya tiba – tiba, matanya menatap langit – langit. Dimiringkan tubuh mungilnya ke sebelah kiri. Tak dilihatnya siapa – siapa. Dinda hanya berada sendirian di dalam kamarnya malam ini. Dinda termenung. Dirasakan seluruh tubuhnya menjadi dingin, padahal malam tadi sebelum tidur Dinda tak menyalakan kipas angin di kamarnya. Kemana sahabatnya Putri? Bukankah malam ini dia bermalam di sini ? Dinda celingukan mencari Putri. Dilangkahkan kedua kakinya menuju jendela kamar. Dibukanya jendela kamarnya. Dirasakan tubuhnya semakin dingin, di tengoknya teras depan yang langsung berhadapan dengan kamarnya. Ditemukan pandangan matanya terhenti pada seorang laki – laki yang duduk disana dengan gelisah. Sejurus kemudian laki – laki itu membalikkan badannya, menatap Dinda. Dinda kenal sekali dengan wajah laki – laki itu. Sedang apa dia disini ? Tidakkah terlalu malam bertamu ke rumahku saat orang lain terlelap dalam mimpi ?. Laki – laki itu tersenyum pada Dinda. Lalu pergi meninggalkan teras tanpa bicara apapun. Dinda mengucapkan istighfar berkali – kali dalam hatinya. Semoga saja apa yang telah kulihat malam ini adalah laki – laki yang ku kenal. Ucap dinda. Dinda segera menutup jendela kamarnya lagi dan naik ke atas tempat tidur. Dilupakannya peristiwa di teras itu.

 **********

 “ De…adakah waktu sebentar saja..?” Asril berlari – lari mengejar Dinda di pelataran kampus. “ Assalamu’alaikum bang…! Ada apakah bang…?” Dinda memberi salam. “ Ikut abang yuk…? Kita jalan – jalan sebentar saja ke Plaza..? boleh..?” Asril memohon. “ Aku tak bisa bang.., ada tugas kampus yang harus kukerjakan di rumah.” sahut Dinda. “ De..tega nian kamu sama abang…, hanya kamu De…yang abang perlakukan istimewa seperti ini. Mau yach De…? Sekali ini saja De…!” Asril menghalangi langkah Dinda. “ Sekali ini saja yach bang…!” akhirnya Dinda luluh juga hatinya. Tak dikiranya tawaran Asril kali ini adalah jeratan yang sangat dahsyat untuk hidup Dinda. “ Silakan De…,” Asril membukakan pintu mobil pribadinya untuk Dinda. “ Aku benar – benar bahagia De…kamu tidak menolak tawaran baikku. Terima Kasih yach De…,” Asril memperhatikan wajah Dinda tanpa berkedip. Dinda tersenyum kecil. “ Ada yang hendak kutanyakan pada abang, bolehkah..?” tanya Dinda. “ Tentang apakah itu De…?” tanya Asril sambil mengemudi. “ Kenapa abang semalam berada di teras rumahku saat jam 12 malam…?” tanya Dinda menatap mata Asril dengan sorot mata penuh curiga. “ Tidak, De. Aku tidak bertamu ke rumahmu semalam, apa lagi jam 12 malam. Aku sedang tertidur di rumahku, De…,” jawab Asril. Dinda hanya terdiam saja. Pikirannya bertanya – tanya dan mencari jawaban. Ahh..mana mungkin yang kulihat bukan Asril..? Syaithon atau Ibliskah yang hendak mengganggu tidurku..? Ya Allah…lindungilah aku dari godaan Syaithon yang terkutuk, jauhkanlah aku dari orang – orang yang akan berbuat zalim kepadaku. Dinda berdoa dalam hati. Telepon seluler Asril berbunyi nyaring. Asril tetap asyik mengemudi. “ Angkatlah bang..tak baik mengacuhkan telepon dari orang lain, mungkin ada berita penting yang mau disampaikan kepada abang…,” ujar Dinda. Asril melirik ke ponsel yang di letakkan di sebelah kanan didekat jendela mobil. “ Sudahlah tak penting, cuma supir papaku. Paling – paling mau menanyakan keberadaanku sekarang.” Asril mengelak. Dindapun tak berani membantah jawaban Asril. Hanya menelan ludah saja. Begitu sombongnya Asril, menyepelekan orang lain yang begitu perhatian pada keselamatan dirinya. “ Kenapa…? Tak percaya kamu, De …kalau itu telepon dari supir papaku ?” “ Percaya bang..., tak ada untungnya kan aku berfikir buruk kepada abang ? hanya membuat susah hatiku saja.” Dinda mencairkan suasana yang dirasakannya tak enak. “ Baguslah De…kalau kamu berfikir seperti itu. Tetap percayalah padaku, De…aku tak mungkin membohongi kamu, karena aku sayang sama kamu, De.” Dinda tersenyum manis. “ Ya semoga saja ucapan dan hati abang selaras.” jawab Dinda. “ Tentu saja, De. Aku ingin melakukan apa saja untuk kamu, De…semua yang terbaik yang bisa aku berikan untuk kamu.” ucap Asril manis. Dan Dinda tak bisa menghindari lagi propaganda Asril telah menghujam jantungnya dengan sangat telak. Melambunglah perasaan Dinda saat itu. Telah terlupa janji hatinya untuk tidak menerima begitu saja kehadiran Asril masuk kedalam kehidupannya untuk kedua kalinya. “ Aku hendak balik ke kotaku esok pagi, aku mau mengurusi klub motor sportku. Ada event penting di pertengahan bulan nanti, aku harap ketika aku kembali kesini, kamu tetap menantiku, De.” pinta Asril pada Dinda. “ Insya Allah yach bang..!” “ Aku mau kepastian, De…,” kejar Asril. “ Akan aku pertimbangkan kembali permohonanmu, bang..!” “ Tidak..! aku tak mau ditimbang lagi, aku mau kamu tetap menantiku, hanya untuk hatiku. Bukan kepada hati yang lain.” Asril mulai memaksa hati Dinda. “ Baiklah abang.” Dinda pun mengalah. Entah apa yang ada didalam pikiran Dinda. Perempuan muda itu begitu tidak tega menolak dengan tegas permintaan dari seorang Asril. Ataukah Dinda memang bermaksud membodohi dirinya kembali untuk kedua kalinya ? begitukah adanya cinta yang bersemayam di hatinya, hingga rasa sakit yang pernah hadir dapat terhapus begitu saja ketika pesona Asril hadir kembali tanpa permisi.

 **********

 Sejak kepergian Asril meninggalkan kota Bandung, kehidupan Dinda menjadi berubah. Setiap hari kerjanya hanya melamun di depan jendela kamarnya. Memandangi foto Asril disaat Dinda hendak pergi tidur. Setiap hari hanya menanti ponselnya berbunyi hanya untuk mendengarkan suara Asril dari kejauhan. Begitu terus setiap hari. Setiap saat yang diingat hanyalah nama Asril dan Asril, entah apa yang meracuni pikiran Dinda saat ini, kehadiran Asril yang tiba – tiba dan kepergian Asril yang tiba – tiba pula malah membuat hidupnya seperti tak punya pegangan, tak ada kendali. Semuanya hanya terfokus pada Asril. Hari – hari yang dilalui bersama sahabatnya Putri pun menjadi renggang. Dinda lebih suka menghabiskan waktu di rumah, hanya untuk merenungi tentang Asril. Laki – laki itu seperti Syaithon…yang bisa hadir dimana saja dan kapan saja, bisa menjelma siapapun yang dia kehendaki, dan bertahta dengan tanduk di kepala dan gigi bertaring di hati Dinda. Kedudukan laki –laki itu dihatinya, telah mengalahkan kecintaannya pada Tuhan yang telah menciptakannya. Kemanapun kaki Dinda melangkah keluar rumah, semua orang yang dilihatnya hanyalah wajah Asril. Telah dibuat jatuh cinta rupanya gadis cantik itu. Gadis cantik yang selalu dikejar Asril dan dipermainkan hatinya ataukah Dinda memang mengizinkan sebagian hatinya untuk dipermainkan laki – laki tersebut ? jawabannya hanyalah cinta. Cinta Dinda menutup mata hatinya. Menutup akal sehatnya yang selama ini selalu digunakan dengan baik.

 **********

 “ Kenapa abang tak bilang padaku…?” Dinda menangis tersedu – sedu di ujung telepon genggamnya. “ Maafkan abang…takut menyusahkan hatimu.” Asril menyahut. “ Bagaimana keadaan abang sekarang..?” Dinda masih menangis. “ Kaki abang patah sebelah kiri, De…abang cidera fatal.” Asril memaparkan musibah yang dideritanya. “ Motor sport abang hancurkah..?” Dinda bertanya lagi. “ Ya..tapi tak mengapa, De. Yang penting abang selamat dari kematian. Itu saja yang abang syukuri.” Asril terbata – bata menjawab pertanyaan Dinda. “ Syukurlah bang…, abang masih bisa mensyukuri nikmat hidup dan sehat dari Allah. Tetap sabar yach bang…aku akan menanti abang sampai abang sembuh kembali.” “ Terima kasih banyak yach, De…tak sia – sia aku memilih kamu.” Setiap hari Dinda begitu khawatir dengan keadaan Asril. Setiap saat pula, Dinda menjalin komunikasi yang baik dengan Asril. Dicurahkannya segala perhatiannya untuk Asril, memacu semangat Asril agar bisa menghadapi hidup dengan optimis, mengerahkan segala usaha Dinda untuk meyakinkan Asril bahwa apapun yang terjadi di depan nanti, Dinda tetap bisa menerima Asril apa adanya. Begitulah cinta, kekuatan cinta telah membuat jarak mereka yang sangat jauh menjadi dekat. Keadaan yang tidak mengenakkan membuat pihak yang lain merasa ikut merasakan kesakitan dan penderitaan. Dan kekecewaaan yang mendalam atas kecerobohan diri sendiri tiba – tiba bisa menjadi penyesalan yang berujung. Karena seseorang yang hadir dalam hidupnya memberikan semangat hidup yang tulus dan suci.



 Tangerang, 15 Juli 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Fans