Sabtu, 25 September 2010

KETIKA CINTA TAK LAGI PUTIH ( Part 3 )

Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: "Jadilah!" Maka terjadilah ia.
QS. Yasin (36) : 82


“ Bagaimana keadaan Asril saat ini, De ?” pertanyaan Taufan memecah kesunyian.

“Kakinya di pen dan sedang dalam perawatan dokter pribadi di rumahnya, Ka.” Dinda melemparkan pandangannya ke kerumunan mahasiswa Fakultas Komunikasi yang tengah melihat jadwal Ujian Akhir Semester minggu depan di papan pengumuman dekat ruangan Rektor.

“ Kamu masih menjalin komunikasi dengan Asril…?” tanya Taufan, teman satu kelas Dinda.

‘ Ya…, tapi entahlah,” Dinda menggantung kalimatnya, lalu mencari tempat duduk di bawah pohon. Persis di depan kerumunan mahasiswa yang sedang berebutan melihat papan pengumuman.

Maksudmu…?” Taufan mengikuti langkah Dinda. Disandarkan tubuhnya dengan damai di pohon yang rindang itu.

“ Aku merasa aneh saja dengan ucapan Bang Asril kemarin sore.” Dinda mengeluarkan kantong tisu dari dalam tas hitamnya. Disapukannya ke wajahnya yang mulai berkeringat, karena terkena terik matahari.

“ Tentang apa, De ?” kejar Taufan.

“ Bang Asril meminta maaf padaku, karena banyak dosa, Ka.” Dinda memainkan ujung jilbabnya.

“ Tak usah dipikirkanlah, semua ucapan dia. Aku tak pernah yakin dengan perkataan apapun yang dia rangkai dengan manis bibirnya itu.” Taufan menatap mata Dinda. Dinda tertegun sesaat.

“ Cinta memang tidak rasional De, tapi setidaknya kamu bisa belajar dari rasa kecewamu di masa lalu dan kamu bisa berfikir logis untuk bersamanya kembali. Maaf aku tidak bermaksud mempengaruhi penilaianmu terhadap Asril…De.” Taufan mengungkapkan keraguannya tentang Asril.

Dinda masih mendengarkan ucapan Taufan dengan seksama.

“ Tak apa Ka. Teruskanlah…, aku mendengarkan Kakak.” Dinda menghela nafasnya pelan – pelan.

Laki – laki berperawakan kurus dan berkacamata minus ini hanya tersenyum.

“ Cukup komentarku, De. Aku tak berhak melontarkan pendapat tentang Asril. Aku tak mau berghibah. Tak baik rasanya.” Taufan bangkit dari duduknya.

“ Ayo…sudah waktunya kita masuk kelas. Nanti dosen mengira kita tidak hadir.” Taufan dan Dindapun berjalan beriringan menuju lift kampus.

**********

Bulan demi bulan berlalu dengan cepatnya kehidupan Dinda. Semua dilalui Dinda dengan bahagia, walaupun harus berjauhan dengan Asril. Semuanya terasa indah. Cinta diam – diam yang selama ini di jaganya dengan baik di dalam lubuk hatinya seakan memberikan harapan dan kekuatan yang akan membuahkan cinta yang berbalas indah pula dari Asril.

Asril begitu beda dari semua laki – laki yang pernah dijumpainya, yang pernah dikenalnya selama ini. Asril begitu memberikan janji surga dunia yang tak berkehabisan, yang tak berujung. Semua kata – kata indah yang dipersembahkan setiap kali berbincang dengan Dinda selalu seperti angin surga yang menyejukkan hati Dinda dan Dindapun selalu merasa terbuai dalam nyenyaknya mimpi – mimpi cinta semu yang ditawarkan Asril. Jalan terang menuju kebahagiaan cinta untuk Dinda seakan terbuka lebar, Dinda tak pernah lagi mempertanyakan kekecewaan hati yang pernah Asril hujamkan dahulu. Dinda begitu mudah memaafkan dan melupakan peristiwa yang sangat berbekas di hatinya itu. Baginya kesembuhan Asril saat ini adalah obat mujarab yang cukup mengobati kepiluan hatinya.

“ Wassalamu’alaikum Bang…!” jawab Dinda lembut. Mempersilahkan Asril masuk.

“ Apa kabar De..?” tanya Asril, laki – laki muda bertubuh tinggi, kekar dan berkulit putih.

“ Alhamdulillah Bang..aku sehat wal’afiat seperti yang kuceritakan kepada abang.” Dinda tersenyum bahagia. Laki – laki tampan yang selalu mengharap cinta padanya itu sekarang telah berada di hadapan wajahnya. Jelas tergambar di raut wajah Dinda dan Asril, segumpal aura bahagia, setelah beberapa bulan lamanya tidak bertemu.

“ Kamu telah menepati janjimu, De.” ucap Asril dengan tersenyum.

“ Ya..bang..seperti janjiku.” Dinda membalasnya dengan senyum. Mereka berdua duduk di teras rumah Dinda.

“ Kedua orangtuamu memangnya sudah menyetujui hubungan kita dekat lagi, De..?” tanya Asril.

Dinda menggelengkan kepalanya. Lalu menundukkan wajah.

“ Kenapa kamu masih mau menantiku, De..?”

“ Tak tahulah aku, bang…, abang begitu berbeda dari yang lainnya, mungkin itulah yang membuat aku bertahan pada pendirianku dan maju selangkah demi selangkah untuk bersama abang.” Dinda masih menundukkan wajah.

“ Tak pantaskah aku untuk mencintaimu, De…hingga kedua orang tuamu tak memberi restu padaku?”

“ Maafkan mereka bang…bila dahulu telah bersikap tak setuju pada abang. Mereka hanya ingin memberikan yang terbaik untuk aku. Terimalah pendapat mereka, bang…bila abang benar – benar menyayangiku.” Dinda menutup kedua wajahnya dengan tangannya. Dan tak bisa dihindari lagi, butiran air mata pun mulai berjatuhan di kedua pipinya yang tirus.

Asril memberikan sapu tangannya pada Dinda.

“ Hapuslah air matamu, De…tak kuasa aku melihatmu menangis. Tak usahlah Ade bersedih. Lupakanlah ucapan abang tadi. Maaf yach de…,” Asril merayu Dinda untuk menghentikan tangisnya.

Dinda menghapus butiran kristal bening di kedua pipinya. Sekarang matanya memerah. Diusapnya kedua matanya dengan sapu tangan dari Asril.

“ Ini bang..makasih yach.” Dinda memberikan sapu tangan itu kepada Asril.

“ Simpanlah De..itu untukmu.” jawab Asril.

“ Aku pamit dulu yach..tak enak rasanya berlama – lama di sini, nanti kedua orang tuamu bisa marah padaku.” Asril bangun dari tempat duduknya. Tiba – tiba ponsel Asril berbunyi. Asril mengeluarkan ponsel dari dalam saku celana panjangnya.

Asril melihat layar ponsel sejenak, lalu didiamkan sebentar.

“ Koq tidak abang jawab..?” Dinda menegur Asril, melihat Asril yang menjadi grogi sikapnya.

“ Temanku.”

“ Siapa, kenapa abang tidak jawab panggilannya ?”

“ Tak pentinglah.”

Dinda menjadi heran. Ponsel Asril masih terus berbunyi. Akhirnya Asril menjawabnya juga.

“ Ya..hallo…, iyya..aku datang kesana. Tunggulah.” Asril menjawab pertanyaan si penelepon dengan terburu – buru.

“ Aku pamit dulu yach, De…ditunggu temanku di rumahnya Handri.”

Dinda hanya menganggukkan kepala. Lalu mengantar Asril ke depan pagar rumah Dinda. Asril segera menghilang secepat kilat bersama mobil jeep pribadinya dari pandangan Dinda yang masih bingung dengan sikap Asril barusan.

**********

“ Dia kembali lagi..?? huhh…ku pikir dia telah mati karena kecelakaan itu.”

“ Putri, tak pantaslah kamu berbicara seperti itu. Ucapan kamu adalah doa untuknya.” Dinda mengingatkan Putri sahabatnya yang sedang bertamu ke rumahnya.

“ Ya biarkan saja. Memang dia pantaskan untuk mati ? dia telah banyak menyakiti kamu, lalu kamu dengan mudahnya memafkan dia. Sungguh mulia sekali kamu, Dinda. Tak ingatkah kamu betapa dia sangat melukai hati kamu dahulu…?”

“ Sudahlah Putri. Aku telah memaafkan dia. Allah saja bisa memaafkan umat-Nya, mengapa aku tidak bisa memaafkan saudara muslimku sendiri ?”

“ Saudara..? mana ada saudara yang menyakiti hati saudaranya sendiri, Dinda ?”

“ Terus saja kamu mencacinya, Putri. Menghina dan merendahkannya. Itu tidak lebih baik buat kamu. Sama saja kamu dengannya. Sama – sama tak terpuji akhlaknya. Kita berduapun belum tentu lebih baik dari Asril di mata Allah, bukan ?” Dinda menatap mata Putri tajam.

“ Berani ambil resiko rupanya kamu, Din..semuanya begitu mudah untuk hatimu.”

“ Biarlah Allah yang membuktikan kebenaran dan kesalahan Asril dan biarlah Allah yang mengadili Asril. Kita tak pantas memberi hukuman padanya. Hukuman Allah lah yang Seadil – adilnya, Putri.”

“ Baiklah Dinda..aku hanya berdoa supaya kamu tidak terseret kembali dalam tipu muslihat Asril mempermainkan cintamu dan menyakiti hatimu kembali.”

“ Amien Ya Robbal Alamin…semoga Allah mengabulkan doamu dan itu adalah sebuah kebaikan untukku.”

“ Jagalah dirimu baik – baik, Dinda. Begitupun hatimu. Hanya Allahlah saja yang kamu jadikan cinta sejatimu. Dan kamu akan merasakan bahagianya dunia dan akhirat, begitulah Ibuku pernah berpesan padaku.” Putri mengingatkan Dinda sekali lagi. Dinda tersenyum kecil. Perselisihan paham di rumah Dinda pun akhirnya berakhir, seiring Putri berpamitan pulang.

**********

“ Perempuan gatal !” tiba – tiba Dahlia menampar pipi kanan Dinda dengan kerasnya.

Dinda mengaduh kesakitan. Tak dibalasnya tamparan cewek cantik bemata coklat itu.

“Perempuan sialan ! perebut cowok orang ! wajah saja kau cantik, tapi kelakuanmu mirip hewan.” Dahlia memaki Dinda.

“ Simpan saja mulutmu yang kotor disana. Di tempat pembuangan sampah. Apa yang kamu tuduhkan itu tak benar !!.”

“ Halah..!! mengelak pula kamu rupanya yach..? sudah tertangkap basah pernah menelepon cowokku, Asril. Masih juga membela diri.”

“ Aku buktikan kebenarannya sekarang. Aku akan hubungi Asril sekarang, dan dengarkanlah langsung dari bibirnya itu, siapa aku ini di hatinya !.”

Dinda segera menghubungi Asril dengan ponselnya, sedangkan wajah Dahlia masih memperlihatkan kemurkaan yang besar pada Dinda. Dahlia adalah kekasih Asril yang dipacari Asril, setelah Asril mengalami kecelakaan. Mereka berdua bertemu di Rumah Sakit tempat Asril dirawat, dan Dahlia menjadi rajin menjenguk Asril sejak Asril menyatakan cintanya pada Dahlia. Dan Dahlia pun menyambut cintanya Asril.

Dahlia menemui Dinda di kampusnya saat ini, karena pernah menemukan nomer ponsel Dinda di ponsel Asril. Dindapun bersepakat dengan Dahlia untuk bertemu di kampusnya, untuk saling memberikan penjelasan tentang status hubungan mereka dengan Asril.

“ Abang dimana…?” tanya Dinda memulai percakapan dengan ponselnya. Dahlia mendengarkan saja dengan penuh perhatian. Gadis cantik yang berambut hitam kecoklatan itu masih menunjukkan wajah yang masam.

“ Hai Dinda sayang..! abang lagi di rumah teman nih, apa kabar kamu sayang hari ini?” suara Asril begitu khas melalui speakerphone ponsel Dinda. Terbelalaklah mata Dahlia demi mendengar ucapan Asril di seberang sana.

Ponsel Dinda langsung direbut Dahlia. Dahlia pun mencaci maki Asril dengan kata – kata yang sangat kotor sekali. Dahlia benar – benar kecewa telah dibohongi Asril. Setelah melampiaskan amarahnya yang membabi buta pada Asril, Dahlia berpamitan pada Dinda tanpa pertengkaran lagi. Dinda pun bersyukur karena peristiwa yang sangat memalukan itu terjadi di belakang kampusnya. Tak ada satu orangpun yang tahu.

**********

“ Aku kasihan sama kamu, De. Ketika 1 minggu lalu kamu memberitahukan aku tentang Asril dan Dahlia.” Haris merapikan buku – buku pelajarannya yang berhamburan di atas meja perpustakaan.

“ Terima kasih banyak Ka, atas atensi Kakak padaku.” Dinda membantu Haris merapikan buku.

“ Ikut aku yukk..ke warnet depan kampus. Akan kutunjukkan sesuatu padamu, De.” Haris melangkah keluar ruangan Perpustakaan kampus.

“ Tentang apakah itu Ka..?” tanya Dinda mengikuti dari belakang laki – laki yang masih menjadi teman satu kelasnya dan juga teman Asril.

“ Facebook Asril. Disana kamu bisa lihat bagaimana Asril memiliki 3 akun sekaligus. 1 akun yang kamu ketahui menggunakan nama Asril, sedangkan 2 akun menggunakan nama samaran hanya dengan 1 tujuan.”

“ Tujuan apa Ka..?” tanya Dinda masih tak mengerti dengan apa yang telah dibicarakan Haris.

“ Untuk menipu cewek – cewek cantik, memperdayai mereka, memacarinya secara bersamaan dan meninggalkannya secara tiba – tiba, bila ia telah mencapai tujuannya.”

“ Maksud Kakak…Bang Asril playboy..?? Astaghfirullah al adzim !!”

“ Tepatnya adalah psikopat cinta, De. Ada satu cewek yang telah dibuatnya gila. Cewek itu sampai kehilangan akal hanya karena tergila – gila pada Asril. Dia kini sedang dirawat di Rumah Sakit Jiwa secara intensif. Aku tahu semua dari komentar yang dituliskan di dinding facebook Asril itu. Tak ada yang luput dari pengawasanku, De. Teman cewek itu yang menuliskannya di dinding Facebook Asril, agar Asril menjenguknya, karena cewek itu selalu memanggil – manggil nama Asril saat mengamuk.”

“ Ya Allah, seperti itukah bang Asril…? Menghalalkan segala cara untuk memperdaya perempuan – perempuan tak berdosa..?” tanya Dinda.

“ Asril tak mau hidupnya sepi dari perempuan – perempuan yang mengelilingi hidupnya, makanya segala cara ia tempuh agar perempuan – perempuan itu tidak lari meninggalkannya. Aku telah mendatangi perempuan yang telah gila karena cinta dengan Asril itu, De. Sangat mengenaskan keadaannya.”

Mereka berdua pun telah memasuki ruangan warnet, Dinda dan Haris mulai mencari akun Asril di Facebook.

Tak berapa lama kemudian, mereka telah keluar dari warnet.

***********


Mata Dinda telah basah dengan air mata yang menyusuri kedua pipinya. Telah 3 hari ini Dinda menghabiskan waktunya berdiam sendirian di kamar. Tak mau makan, minum apalagi sholat 5 waktu. Dinda menjadi anak yang sulit diajak bicara oleh kedua orang tuanya. Yang dilakukan Dinda hanyalah menyetel musik dengan suara yang keras sekali. Hingga terdengar keluar kamarnya. Kedua orang tua Dinda telah berupaya membujuk Dinda untuk menghentikan aksi mogok makannya itu, begitupun Putri, Taufan dan Haris ikut pula membujuk Dinda. Namun, tak membuahkan hasil.

Sesekali Dinda meneriakkan nama Asril dengan ucapan yang sangat kasar dan kotor. Diumpatnya nama laki – laki itu sekejam – kejamnya. Dinda telah kehilangan kendali sejak Haris membuka kedok Asril sebenarnya, bahkan Dinda pun tanpa banyak bicara lagi langsung menghubungi Asril dan menceritakan tentang apa yang telah dilihatnya di akun facebook Asril. Begitu menyakitkan buat Dinda yang selama beberapa bulan lamanya membangun kepercayaan kembali tentang Asril, dan menyakitkan juga buat sang psikopat cinta yang harus rela ditinggalkan kekasih pujaan hatinya, yaitu Dinda.

Kedua orang tua Dinda tak sabar lagi melihat putrid tersayangnya mengurung diri di dalam kamar, tanpa makan dan minum. Tanpa membuang waktu lagi, kedua orang tua Dinda mendobrak pintu kamar Dinda.

Dinda telah lemah lunglai berada di pojok kamar, dengan keadaan yang sangat kacau dan mengenaskan. Rambutnya acak – acakan, dan tak mengenakan jilbab pula. Pakaian yang melekat di tubuhnya telah berantakan. Isi kamarnya pun sudah seperti kapal pecah, semua berhamburan di lantai. Taufan dan Putri yang hadir disana, hanya meneteskan air mata kesedihan pada sahabatnya, menunjukkan rasa prihatin yang mendalam. Cinta tulus Dinda pada laki – laki bernama Asril, hanya berujung memilukan.

**********

Dinda dibawa kedua orang tuanya ke Psikiater, untuk diperiksa kejiwaannya lebih lanjut. Selama 3 bulan Dinda harus menjalani hypno terapi yang intensif dari Dokter kenalan ayah Dinda.

Setelah selesai menjalani hypno terapi, Dinda harus menjalani lagi terapi islami dari guru ngajinya, dengan banyak – banyak berzikir dan sholat tahajud. Semua dijalani Dinda dengan kesungguhan hati, karena Dinda telah mengalami guncangan yang sangat dahsyat dalam jiwanya karena cinta yang tidak wajar yang pernah Asril hujamkan diam – diam pada Dinda. Asril telah mengendalikan jiwa Dinda secara emosional dan berharap Dinda takkan pernah meninggalkannya apapun dan bagaimanapun Asril meyakiti hati Dinda., begitulah resume yang didapat dari psikiater dan konsultan spiritual Dinda.

Berbulan – bulan Dinda harus menjalani pengobatan yang diberikan oleh kedua orang tuanya, namun Allah jualah yang menentukan takdir manusia. Manusia boleh berusaha sekuat hati, sekuat tenaga, namun bila Allah telah berKehendak, maka tak ada satu orangpun yang bisa lolos dari Kehendak-Nya.

**********

Suasana di rumah Dinda pagi ini begitu hening. Hanya lalu lalang ibu – ibu tetangga rumah Dinda yang menjadi pemandangannya. Ada yang menyiapkan beras di baskom untuk diletakkan di depan rumah, ada yang sibuk mencari kembang, ada yang sibuk membawakan air mineral gelas untuk tamu – tamu yang datang bergantian di rumah Dinda. Mereka semua berkerudung hitam. Begitu pula dengan para tamu yang datang.

“ Tak usah menangis terus, Putri. Bersabarlah dan berdoalah untuk Dinda. Semoga dilapangkan jalan menuju cahaya-Nya.” Taufan menasehati Putri yang masih menangis terisak – isak di depan jenazah Dinda yang telah terbujur kaku.

“ Putra…ajak adikmu keluar, bila telah selesai membaca surah Yasin. Aku mau membacakannya pula untuk sahabatku, Dinda.”

“ Ya..bang..!” sahut Putra. Mata Putra pun telah sembab sejak tadi shubuh saat mendengar berita bahwa Dinda telah menghembuskan nafas terakhir saat Dinda berada di teras rumahnya.

“ Dinda telah pergi, Putra. Sudahlah..! bawa adikmu keluar segera. Jangan membuat Dinda menjadi lebih sakit dengan tangis Putri. Ikhlaskanlah Dinda pergi meninggalkan kita. Allah telah mempunyai rencana yang indah untuk kita.”

Putra akhirnya mengajak Putri keluar dari ruang keluarga itu.

Taufan langsung membacakan surah yasin untuk sahabatnya dengan khusyu. Dilihatnya wajah Dinda yang telah tertutup kain kerudung tipis berwarna putih, wajahnya sangat cantik sekali saat menghadap Illahi Rabbi. Dengan senyuman yang paling manis dan indah yang pernah diberikannya pada sahabat – sahabatnya semasa hidupnya.

“ Semoga arwahmu di terima di sisi Allah SWT, Dinda…, selamat jalan sahabatku, aku nanti pun akan menyusulmu, terima kasih engkau telah memberikan nasehat kepadaku, tentang kematianmu ini. Agar aku bisa memperbaiki semua ibadahku pada Allah SWT. Dan bila waktunya tiba, aku bisa datang kepada Allah dengan membawa bekal amal ibadahku.”

Haris yang datang terlambat pagi itu segera bergabung pula dengan Taufan untuk membacakan surah yasin sebagai penghormatan terakhir pada sahabat baiknya, Dinda. Sedangkan Asril, tak jelas keberadaannya dimana. Setelah mendengar Dinda menjadi hilang ingatan, Asril menghilang bagai ditelan bumi. Ponselnya pun tak ada satu pun yang bisa dihubungi sahabat – sahabat Dinda dan kedua orang tua Dinda.

**********


“ Allahu Akbar…!!! Astaghfirullah al Adzim….!!” Tiba – tiba saja Dinda terbangun dari tidurnya. Putri, sahabatnya yang sedari tadi tidur di dekatnya menjadi kaget dan terbangun.

“ Kenapa, Din…?? Ada apa ? Mimpi buruk yach ?” tanya Putri. Mata Dinda telah basah dengan butir – butir air mata.

Dinda menangis sekencang – kencangnya, sambil mengucapkan lafadz Allahu Akbar berkali – kali, dipeluknya tubuh Putri erat dan sangat erat. Putri membalas pelukan Dinda dan menepuk – nepuk bahu Dinda, agar Dinda menjadi tenang.

“ Ceritakan padaku, Dinda. Apa yang telah terjadi…? Apa yang telah mengganggu tidurmu tadi…?”

Dinda masih terisak – isak di pelukan Putri.

“ Ya Allah..Put….! Allah telah memperlihatkan masa depanku padaku barusan. Aku telah melihat masa depanku sendiri atas izin Allah, Put. Mengerikan sekali, Putri.”

“ Maksudmu..? masa depan…? Aku tak mengerti, Dinda.” Putri melepaskan pelukannya dan memegang kedua bahu Dinda, tak percaya dengan apa yang telah diucapkan oleh Dinda.

“ Alhamdulillah…Allah menyayangiku. Diberikannya gambaran kehidupanku di masa depan bila aku salah membuat pilihan untuk hidupku, bila aku terlalu mencintai orang lain melebihi kecintaanku pada Allah, Pemilik Langit dan Bumi ini, Put. Aku tak mau mati sia – sia. Aku tak mau mati dalam ketololan, dalam budak cinta dan hawa nafsu dunia. Ya Allah…Alhamdulillah, Engkau masih memberiku kesempatan untuk hidupku malam ini. Kan ku abdikan hidupku hanya untuk beribadah kepada-Mu, Ya Allah….!!”

“ Aku benar – benar tak mengerti, Dinda. Ayolah..kita Sholat Istikharoh…waktu sudah menunjukkan pukul 2 pagi. Tepati janjimu pada Allah sekarang.” Putri menyingkirkan selimut dari tubuhnya dan menarik lengan Dinda untuk mengambil air wudhu.

“ Iya…makasih Putri, masih menjadi sahabatku sampai detik ini, kita jangan pernah berpisah yach…? kecuali Allah yang memisahkan tali persahabatan kita dengan kematian.”

“ Iya, Dinda. Ceritakan selengkap – lengkapnya juga yach apa yang telah kamu alami di mimpimu barusan. Semoga bisa menjadi hikmah untuk hidupku pula.”

“ Amien Ya Allah…..!” Dinda mengamini ucapan Putri, dan mereka berdua pun kompak menuju toilet untuk mengambil air wudhu, menunaikan qiyamul lail.

Subhanallah….Maha Suci Allah.


T. A. M. A. T


**********



Jakarta, 18 Juli 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Fans